• Waktu Tak Pernah Kembali

    Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Dua kenikmatan yang sering dilupakan oleh kebanyakan manusia adalah kesehatan dan waktu luang [Hr. Bukhori No.5933]

  • Usahakan Waktu Kita Selalu Istiqomah Dijalan Alloh

    Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tempat cemeti di surga itu lebih baik dari dunia dan seisinya, sungguh berpagi-pagi atau sore hari di jalan Allah itu lebih baik daripada dunia seisinya." [Hr. Bukhori No.5936]

  • Kau Isi Apa Waktumu?

    Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah membuat suatu garis lalu beliau bersabda: "Ini adalah cita-citanya, dan ini adalah ajalnya, ketika seseorang seperti itu (dalam cita-citanya), maka datanglah garis yang lebih dekat (yaitu ajalnya)." [Hr.Bukhori No.5939]

Kamis, 14 April 2011

Kontroversi Puasa Sunnah Hari sabtu

it's an information blog
Penulisnya adalah: Muhammad Yusuf Abu Iram Pada Pukul 10.00 Belum terdeteksi adanya komentar nih

Posting ini Insya Alloh akan saya Up-load secara berseri .. 

 

PENDAHULUAN

Muharam telah tiba, bulan yang Allah Tabaroka wa Ta’ala mengaitkan nama-Nya yang tinggi pada bulan ini, bulan yang di dalamnya nabi yang mulia ‘alaihi Sholaatu wa Salaam mengatakan sebagai bulan paling afdhol untuk berpuasa setelah ramadhan. Dari Abu Hurairoh, Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa Sallam : ”Seutama-utama puasa setelah ramadhan adalah bulan Allah Muharam, dan seutama-utama sholat setelah sholat fardhu adalah sholat malam.” (Hadits Shahih : Shahih Abu Dawud : 2122; Shahih Muslim : (II/821/1163); Sunan Abu Dawud (V/82/2412) – Aunul Ma’bud; Sunan Nasa’i (III/206) dan Sunan Turmudzi (I/274/436). Lihat Takhrijnya di dalam al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah hal. 200).
Namun dalam al-Wajiz hal. 203, di dalam sub bab yang berjudul al-Ayyamu al-Manhi ’an Shiyaamiha (hari-hari yang terlarang berpuasa), no.4, Syaikh Abdul Azhim Badawi hafizhahullahu memasukkan hari Sabtu secara bersendirian termasuk hari yang terlarang berpuasa di dalamnya. Berdasarkan hadits dari Abdullah bin Busr as-Sulami dari saudarinya yang bernama ash-Shamma’, bahwasanya Nabi Shallallahu ’alaihi wa Sallam bersabda : ”Janganlah berpuasa pada hari Sabtu kecuali puasa yang diwajibkan kepada kalian, jika kalian tidak mendapatkan apapun kecuali hanya kulit pohon anggur atau ranting pohon, maka kunyahlah”. (Hadits Shahih : Shahih : 2116; Sunan Abu Dawud (VII/66/4303); Sunan Turmudzi (II/123/741) dan Sunan Ibnu Majah (I/550/1726), lihat takhrijnya di dalam al-Wajiz hal. 203)
Tanggal 10 Muharam 1426 ini jatuh bertepatan pada hari Sabtu. Hal ini tidak jauh berbeda dengan kejadian hari Arofah pada tahun 1408 yang jatuh juga pada hari Sabtu. Lantas bagaimanakah hukum berpuasa sunnah (Muharam) pada hari Sabtu?? Apakah kita lebih mendahulukan larangan tentang berpuasa hari Sabtu ataukah kita mendahulukan hadits yang menganjurkan puasa sunnah pada hari itu?? Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat secara tajam.
Syaikh al-Albany ­Rahimahullahu berpendapat bahwa berpuasa pada hari Sabtu hukumnya haram secara mutlak (al-Irwa’ : IV/122) dan pendapat beliau dikuatkan oleh Syaikh Ali Hasan al-Halaby dalm Zahru ar-Raudli fi Hukmi Shiyaami Yawmi Sabti fi Ghoyril Fardli. Syaikh Abdul Azhim Badawi dalam al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah memasukkan hari Sabtu sebagai hari-hari terlarang dan haram jika dilaksanakan bersendirian, sedangkan jumhur ulama menyatakan hukumnya adalah makruh sebagaimana pendapat Syaikh Abul Hasan al-Ma’ribi dalam Silsilah Fatawa Syar’iyah, sebagian lagi memperbolehkan secara mutlak seperti Syaikh Abu Abdillah Mustofa al-‘Adawi, Syaikh Usamah Abdul Aziz (dalam Shiyaamu Tathawu’ Fadha’il wal Ahkam – terjemahan : Puasa Sunnah, penerbit : Darul Haq), Syaikh Abu Ishaq al-Huwaini (dalam tanya jawab di http://www.alheweni.com) dan selainnya.
Ibnu Rusyd berkata dalam Bidayatul Mujtahid (V/216-217) : “Hari-hari yang dilarang berpuasa ada yang telah disepakati dan ada yang masih diperselisihkan. Adapun yang telah disepakati adalah pada hari Fithri dan Adlha yang telah tsabat larangannya. Adapun yang diperselisihkan adalah hari-hari tasyriq, hari syak, hari Jum’at, hari Sabtu, pertengahan akhir bulan Sya’ban dan puasa Dahri…” beliau melanjutkan ucapannya, “Adapun hari Sabtu, maka sebab terjadinya perselisihan adalah karena perbedaan di dalam menshahihkan hadits yang diriwayatkan dari Nabi bahwasanya beliau bersabda : “Janganlah kalian berpuasa pada hari Sabtu kecuali puasa yang telah diwajibkan kepada kalian”…”.
Imam ath-Thahawi berkata di dalam Syarh Ma’ani al-Atsaar (II/80) setelah meriwayatkan hadits larangan berpuasa pada hari Sabtu : “Para ulama berpendapat dengan hadits ini, dan mereka membenci berpuasa tathawu’ (sunnah) pada hari Sabtu.” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam Iqtidla’ ash-Shirathal Mustaqim (II/570) ketika menyebutkan waridnya hadits larangan berpuasa pada hari Sabtu : “Para ulama telah berselisih pendapat  tentangnya.”
Beberapa ulama berargumen di dalam menolak hadits larangan berpuasa hari pada hari Sabtu ini dengan menyatakan bahwa hadits ini adalah syaadz. Agar permasalahan ini menjadi jelas, maka ada baiknya jika kita melihat perincian jalan-jalan hadits larangan berpuasa pada hari Sabtu ini, sehingga madzhab yang kita ambil adalah madzhab Ahlul Hadits bukan madzhab Fulani atau Fulan.

TAFSHIL (PERINCIAN) JALUR-JALUR PERIWAYATAN HADITS LARANGAN BERPUASA HARI SABTU DAN PENETAPAN KESHAHIHANNYA
Fadhilatus Syaikh Ali Hasan al-Halaby al-Atsary berkata di dalam Zahru ar-Roudli fi Hukmi Shiyaami Yaum as-Sabti fi ghoiri al-Fardli :
Hadits ini warid (datang) dari empat orang sahabat. Tiga diantaranya merupakan ahlul bait yang satu, yakni :
1.        Abdullah bin Busr
2.        Saudarinya, Shamma’ binti Busr
3.        Bapak keduanya, Busr bin Abi Busr al-Maaziniy
Ibnu Abdil Bar meriwayatkan dalam ‘al-Isti’ab’ (12/228-229) dengan sanad yang sampai kepada Duhaim, ia berkata : “Sahabat nabi yang satu ahlul bait (keluarga) ada empat orang, yaitu Busr dan kedua puteranya, Abdullah dan Athiyah, serta saudari keduanya, Shamma’” (Lihat : ar-Rabbaniy fil Hadist (hal. 26) karya Abdul Ghani bin Said al-Azdi dengan tahqiqku (Syaikh Ali Hasan), cet. Dar Ammar)
4.     Abu Umamah, yang nama asli beliau adalah Shuday bin ‘Ajlan.
 
Berikut ini adalah perincian riwayat-riwayat mereka, jalur-jalurnya beserta takhrijnya (Yang dinukul dari risalah Zahru ar-Roudli :

PERTAMA : ABDULLAH BIN BUSR

Memiliki banyak jalur :
Pertama :
Diriwayatkan Ibnu Majah (1726), ‘Abd bin Humaid dalam Musnad-nya no 507, Nasa`iy dalam al-Kubra (55/m/1), Ibnu Syahin dalam Nasikh wa Mansukh (no. 398, cet. Al-Manar) dan Abu Nu`aim dalam al-Hilyah (V/218). Seluruhnya dari jalur Isa bin Yunus, dari Tsaur bin Yazid, dari Khalid, dari Abdullah, ia berkata :
Janganlah kalian berpuasa pada hari Sabtu kecuali puasa yang diwajibkan atas kalian, jika kalian tak mendapatkan apa-apa kecuali hanya kulit pohon anggur atau ranting pohon, maka kunyahlah
Diriwayatkan pula oleh Tamam ar-Razi dalam Fawaid-nya no 654 dari jalan Utbah bin Sakkan, dari Tsaur yang serupa…
Aku (Syaikh Ali) berkata : “Isa bin Yunus adalah Ibnu Abi Ishaq as-Sabi’iy, seorang yang tsiqot ma’mun. Adapun Utbah bin Sakkan, Daruquthni berkata tentangnya, “Dia matruk”. Berkata Baihaqi tentangnya, “Lemah tertuduh memalsu hadits”. Biografinya terdapat dalam al-Lisan (IV/128). Adapun rijal sanad lainnya tsiqoh dan sanadnya shahih. Keberadaan Utbah tidak menganggu kesahihannya karena riwayat Utbah hanyalah mutaabi’ (penyerta).”
 Kedua :
Diriwayatkan Ahmad (IV/189) dan al-Khathib dalam Tarikh-nya (VI/24), dari jalur Ibrahim bin Ishaq ath-Thalqooniy, ia berkata : Mengabarkan kepada kami Walid bin Muslim, dari Yahya bin Hassan, ia berkata, aku mendengar Abdullah bin Busr al-Maaziniy berkata, Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : (sama seperti redaksi sebelumnya)
Rijal-rijalnya seluruhnya tsiqot, namun Walid bin Muslim telah melakukan Tadlis Taswiyah[1], ia tidak menyatakannya dengan tahdits (perkataan haddatsana) dari gurunya, namun beliau menegaskannya pada (tabaqat/tingkatan) gurunya guru beliau.[2]
Syaikh kami Albany telah mengisyaratkan hal ini dalam al-Irwa’ (IV/122) perkataan adl-Dliya’ al-Maqdisy dalam al-Ahadits al-Mukhtarah (191/1) yang berkata, “Sanad hadits ini shahih.” Barangkali pada riwayatnya, Walid menegaskan riwayatnya dengan tahdits. Wallahu a’lam.
 Ketiga :
Diriwayatkan Ahmad (IV/189), Nasa`iy dalam al-Kubra sebagaimana tercantum dalam at-Tuhfah (IV/293), Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (V/250-ihsan), ad-Daulabi dalam al-Kuna (II/118), ath-Thabrani –dari jalur al-Mizzi- dalam Tahdzibul Kamal (VI/43-Basyar), Ibnu Asakir dalam Tarikh-nya (9/no. 8), Abu Zur’ah ad-Dimasyqy dalam Tarikh-nya (no. 611) secara ringkas. Keseluruhannya dari dua jalan, dari Hassan bin Nuh, ia berkata, aku mendengar Abdullah bin Busr berkata, apakah kau lihat kedua tanganku ini? Aku telah membaiat Rasulullah dengan kedua tanganku ini, dan aku mendengar beliau bersabda… (sama seperti redaksi sebelumnya). Aku (Syaikh Ali) berkata, “Sanadnya hasan insya Allah. Dan Hassan, banyak perawi tsiqot meriwayatkan darinya. Al-Ijli, Ibnu Hibban dan Ibnu Hajar mentsiqotkannya. Adz-Dzahabi berkata, Shaduq.”[3]
Aku (Syaikh Ali) katakan : Hadits dari jalur Abdullah dishahihkan al-Hakim, ia berkata, “Shahih menurut syarat Bukhari.”[4] Ibnu Sakkan menshahihkannya sebagaimana tercantum dalam at-Talkhishu Habir (II/216) karya Ibnu Hajar


[1] Para ulama mensyaratkan terhadap Mudallis Taswiyah agar haditsnya tegas dengan tahdits pada seluruh thobaqot sanadnya, yang dimulai dari syaikhnya hingga sahabat. Jika tidak demikian maka haditsnya ditolak.
[2] Syaikh Usamah Abdul Aziz al-Mishri berkomentar dalam Shiyaamu at-Tathowwu’ Fadha`il wa Ahkaam : “Sanad hadits ini masih bisa diterima. Hanya saja dikhawatirkan adalah tadlis yang dilakukan oleh al-Walid bin Muslim, dimana pada sanad ini ia menggunakan redaksi ‘an’anah[3] Syaikh Usamah Abdul Aziz berbeda pendapat dengan Syaikh Ali, beliau berkata dalam kitabnya Shiyaamu at-Tathowwu’ Fadha`il wa Ahkaam: “Hassan bin Nuh adalah perawi majhul dan hanya Ibnu Hibban dan al-Ijli yang mentsiqotkannya. Jadi kekeliruan muncul darinya. Pandangan ini lebih baik daripada menilai waham terhadap perawi-perawi tsiqot yang meriwayatkan darinya. Wallahu a’lam”
[4] Syaikh Ali berkata : Ibnu Mulaqqin menukil dari al-Hakim dalam Tuhfatul Muhtaj (I/114), ia berkata, “Shahih menurut syarat syaikhaini”. Penisbatan ini tidak benar!? Yang benar adalah apa yang disebut oleh al-Hakim.



Free Template Blogger collection template Distributor jahe Merah Karomah Blog Indahku Goresan Jari Jemariku cafe Gaul Para Salafiyyin

0 comments :

Posting Komentar

Setelah mata lelah membaca, tangan lelah menggerakkan mouse, tapi janganlah lelah untuk berkata menyapa, sapalah kami...terima kasih atas kesediaannya memberi inspirasi, silahkan ketik disini :

Jika anda menghendaki tukaran link / banner/follow silahkan anda simpan linknya di Buku Tamu Kami. Diberdayakan oleh Blogger.