• Waktu Tak Pernah Kembali

    Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Dua kenikmatan yang sering dilupakan oleh kebanyakan manusia adalah kesehatan dan waktu luang [Hr. Bukhori No.5933]

  • Usahakan Waktu Kita Selalu Istiqomah Dijalan Alloh

    Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tempat cemeti di surga itu lebih baik dari dunia dan seisinya, sungguh berpagi-pagi atau sore hari di jalan Allah itu lebih baik daripada dunia seisinya." [Hr. Bukhori No.5936]

  • Kau Isi Apa Waktumu?

    Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah membuat suatu garis lalu beliau bersabda: "Ini adalah cita-citanya, dan ini adalah ajalnya, ketika seseorang seperti itu (dalam cita-citanya), maka datanglah garis yang lebih dekat (yaitu ajalnya)." [Hr.Bukhori No.5939]

Selasa, 19 April 2011

Kontroversi Puasa Sunnah Hari sabtu (Bagian 3)

it's an information blog
Penulisnya adalah: Muhammad Yusuf Abu Iram Pada Pukul 10.22 Belum terdeteksi adanya komentar nih

KETIGA : BUSR BIN ABI BUSR AL-MAAZINIY
Diriwayatkan oleh Nasa`iy dalam al-Kubra sebagaimana tercantum dalam Tuhfatul Asyraf (2/96) dan Abu Nu’aim al-Ashbahani dalam Ma’rifatu ash-Shahabah (no. 1199) dari jalan ‘Imran bin Bukkar, dari Abu Taqiy –beliau adalah Abdul Hamid bin Ibrahim, dari Abdullah bin Salim, dari az-Zubaidi, dari al-Fudhail bin Fadholah, dari Khalid bin Ma’dan dari Abdullah bin Busr dari ayahnya…
Nasa`iy berkata, “Abu Taqiy ini orangnya dha’if laysa bi syai’in (lemah tidak ada apa-apanya), diperselisihkan riwayatnya terhadap Abdullah bin Busr.”
Syaikh Ali Hasan berkata, “dalam tambahan di Tuhfatul Asyraaf : Ishaq bin Ibrahim bin Zibriq menyertai riwayatnya dari ‘Amru bin al-Harits dari Abdullah bin Salim.”
Aku telah mengetahui riwayat penyerta ini –segala pujian milik Allah-, yaitu :
Dikeluarkan oleh Thabrani dalam al-Kabir (1191) dan di dalam Musnad asy-Syaamiyyin (1875), ia berkata : menceritakan kepada kami ‘Amru bin Ishaq bin Ibrahim bin Zibriq al-Himshi, menceritakan kepadaku ayahku dan menceritakan kepada kami Yahya bin Utsman bin Shalih, menceritakan kepada kami Ishaq bin  Ibrahim bin Zibriq al-Himshi, ia berkata : menceritakan kepada kami ‘Amru bin al-Harits dari Abdullah bin Salim, dari az-Zubaidi, menceritakan kepada kami al-Fudhail bin Fadhalah bahwasanya Khalid bin Ma’dan mengisahkan bahwa Abdullah bin Busr menceritakan bahwa dirinya mendengar ayahnya –Busr- berkata : Sesungguhnya Rasulullah melarang berpuasa pada hari Sabtu, beliau bersabda : Jika kalian tidak menemukan sesuatupun kecuali hanya mengunyah ranting pohon maka janganlah kalian berpuasa pada hari itu.
Abdullah bin Busr berkata : jika kalian meragukannya maka temuilah saudariku, ia berkata, maka Kholid bin Ma’dan berjalan menuju saudarinya dan bertanya kepadanya tentang perihat yang disebutkan Abdullah, maka ia menyebutkan (menjawab) hal yang sama.
Aku (Syaikh Ali) berkata : Isnad ini memperkuat riwayat, namun kedua riwayat ini memiliki kelemahan, adapun Fudhail bin Fadholah, ia ditsiqotkan oleh Ibnu Hibban (5/295) dan berkata : “Ahlu Syam meriwayatkan darinya”.
Al-Hafizh menyebutkan di dalam at-Tahdzib (8/298) riwayat sekumpulan ulama (jama’ah) darinya. Maka orang sepertinya hasan haditsnya.[1]
Syaikh Ali kembali berkata : “Dalam riwayat ini terdapat faidah yang besar, yaitu adanya penegasan (tashrih) bahwa Abdullah, ash-Shamma’ dan ayahnya Busr, semuanya telah meriwayatkan hadits ini dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Sebagai penguatnya adalah telah lalu penjelasannya dan perinciannya. Demikianlah, haditsnya adalah shahih dan segala puji hanya milik Allah. Sebagaimana dikatakan oleh syaikh kami di dalam al-Irwa’ (4/121), “diperhitungkan seluruhnya dari seluruh aspek riwayat yang beraneka ragam dan keseluruhannya adalah shahih”.

KEEMPAT : HADITS ABU UMAMAH

Padanya ada dua jalur :
Pertama : Thabrani meriwayatkan di dalam al-Mu’jamul Kabir (5722) ia berkata, bercerita kepada kami Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, bercerita kepadaku al-Hukmu bin Musa, menceritakan kami Ismail bin Ayyasy dari Abdullah bin Dinar dari Abu Umamah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : Janganlah kalian berpuasa pada hari Sabtu kecuali puasa wajib, jika kalian tak mendapatkan apapun kecuali ranting pohon maka berbukalah dengannya”.
Haitsami berkata di dalam Majma’uz Zawa`id (3/198) setelah menyandarkannya kepada Thabrani : “… Dari jalan Isma`il bin ‘Ayyasy dari penduduk Hijaz, dan dia termasuk lemah di kalangan mereka.”
Aku (Syaikh Ali) berkomentar : “Haitsami –rahimahullahu Ta’ala- telah menduga bahwa Ibnu Dinar tersebut adalah al-‘Adawi al-Madini, padahal bukan dia! Yang benar dia adalah Abdullah bin Dinar al-Burhaani al-Himshi, termasuk penduduk Syam, dan riwayat Isma`il darinya adalah shahih, namun dirinya –yaitu al-Burhani- masih diperbincangkan tentangnya, Ibnu Hibban dan Abu Ali al-Hafizh mentsiqohkannya. Berkata al-Juzjani tentangnya : yata`anna fiihi. Namun Daruquthni, Ibnu Ma’in dan Abu Zur’ah al-Azdi mendhaifkannya.”[2]
Aku mengatakan : Dalam sanadnya juga terdapat illat yang kedua, yaitu : terputusnya antara Ibnu Dinar dengan Abu Umamah.
 Kedua : Ar-Ruyani berkata di dalam Musnad ash-Shahabah (juz 30/no. 225/a – manuskrip Zhahiriyah) : “Bercerita pada kami Salamah, bercerita pada kami Abu al-Mughiroh, bercerita pada kami Hassan bin Nuh, ia berkata : aku mendengar Abu Umamah berkata : Aku mendengar Rasulullah bersabda : … (sebagaimana redaksi sebelumnya)
Aku katakan : “Sanadnya hasan musalsal (bersambung) dengan tahdits (bercerita) dan sima’ (mendengar). Segala puji hanya milik Allah atas taufiq-Nya.”
Syaikh Ali menutup ucapannya : Inilah akhir dari riwayat yang aku teliti dari jalur-jalur hadits yang melarang berpuasa pada hari Sabtu. Orang yang meneliti dan memahaminya akan mengetahui pasti ketetapan (tsabat) hadits ini dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dari riwayat empat orang sahabat. Maka jika anda telah mengetahuinya, maka batallah apa yang didakwakan oleh Yahya bin Ied dalam kitabnya al-Qoulu ats-Tsabt (hal. 18) yang berkata : “Abdullah bin Busr dan Abu Umamah bersendirian dalam riwayat pelarangan ini”. Ucapan ini sungguh aneh, karena tidaklah dua orang yang meriwayatkan hadits dikatakan ‘bersendirian’!!! (Selesai di sini penukilan dari zahru ar-Roudli tentang tafshil thuruqil hadits).
Penyusun menambahkan :
Berbeda dengan Syaikh Usamah Abdul Aziz, beliau hanya menguatkan jalur dari Tsaur bin Yazid dari Khalid bin Ma’dan dari Abdullah bin Busr dari saudarinya ash-Shamma’ dan melemahkan jalur selainnya. Beliau berkata : “Inilah pendapat yang dikuatkan oleh Daruquthni, dimana dalam al-Ilal (Juz V/II/86B) setelah membawakan semua jalur periwayatan hadits ini, ia mengatakan, ‘riwayat yang shahih adalah riwayat yang bersumber dari Ibnu Busr dari saudarinya (ash-Shamma’)’. Hadits ini sanadnya shahih dan semua perawinya tsiqot. Akan tetapi banyak ulama yang menilai hadits ini mengandung ‘illat meskipun dhahirnya shahih[3]. Inilah pendapat mereka :
  1. Imam Malik. Abu Dawud mengatakan dalam as-Sunan (II/436), bahwa Malik berkata : “hadits ini dusta”.
  2. Imam az-Zuhri. Abu Dawud (2423) dan al-Hakim (I/436) meriwayatkan melalui jalur Ibnu Wahab, bahwa ia berkata : “Aku mendengar bahwa al-Laits meriwayatkan dari Ibnu Syihab az-Zuhri bahwa jika disebutkan di sisinya hadits larangan berpuasa hari Sabtu, ia berkata : “Ini hadits orang Himsha”.” Ath-Thahawi berkata : “Az-Zuhri tidak menganggap hadits ini hadits yang bisa diriwayatkan dan dia menilai haditsnya lemah.”
  3. Imam al-Auza’iy. Abu Dawud (2424) mengeluarkan, yang jalurnya dikeluarkan pula oleh al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra (IV/302-303) melalui jalan al-Walid bin Muslim dari al-Auza’iy bahwa ia berkata : “saya masih melihat haditsnya tersembunyi hingga akhirnya saya melihatnya tersiar, yakni hadits Abdullah bin Busr tentang berpuasa hari Sabtu.”
  4. Yahya bin Sa`id al-Qaththan. Ibnul Qoyyim berkata dalam Mukhtashar as-Sunan (III/298), Abu Abdullah (Imam Ahmad) mengatakan, Yahya bin Sa`id menjauhi hadits ini dan ia tidak mau menceritakannya kepadaku. Ia mendengar hadits ini dari Tsaur yang mengatakan, “Saya mendengarnya dari Abu ‘Ashim”. Ibnul Qoyyim mengatakan, “Ungkapan ini sepertinya menganggap lemahnya hadits ini.”
  5. Imam Ahmad. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan dalam Iqtidha’ (II/574) bahwa al-Atsram mengatakan, “Aku mendengar Abu Abdillah (Imam Ahmad) pernah ditanya tentang berpuasa secara khusus hari Sabtu, lalu ia menjawab, “Adapun mengenai berpuasa secara khusus pada hari Sabtu terdapat dalam hadits ash-Shamma’, yakni yang diriwayatkan oleh Tsaur bin Yazid dari Khalid bin Ma’dan dari Abdullah bin Busr dari saudarinya ash-Shamma’ dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, beliau bersabda, “Janganlah berpuasa pada hari Sabtu kecuali puasa yang diwajibkan atas kalian.”. Abu Abdillah mengatakan, “Yahya bin Sa`id menjauhi hadits ini dan enggan menceritakannya kepadaku. Ia mendengarnya dari Tsaur yang mengatakan, aku mendengarnya dari Abu ‘Ashim.” Al-Atsram berkata, “Dasar yang dipegang oleh Abu Abdillah dalam membolehkan berpuasa hari Sabtu adalah karena hadits-hadits yang ada, semuanya berbeda dengan hadits Abdullah bin Busr.” (Beliau menyebutkan hadits tentang berpuasa sepanjang masa, berpuasa pada bulan Sya’ban dan hari Jum’at setelahnya, hadits-hadits tentang mengiringi puasa Ramadhan dengan puasa enam hari di bulan Syawwal dan hadits tentang berpuasa pada hari-hari putih.). Selanjutnya Ibnu Taimiyah berkata, “Al-Atsram memahami dari ucapan Imam Ahmad bahwa ia ragu untuk menerima hadits Ibnu Busr dan Ahmad membolehkan berpuasa pada hari Sabtu tersebut, dimana ia menyebutkan hadits yang dijadikan dasar untuk memakruhkannya. Kemudian al-Atsram menuturkan bahwa Imam Ahmad mengatakan dalam Ilal al-Hadits, Yahya bin Sa`id menjauhi hadits ini dan ia enggan menceritakan padaku.’. Ini semua adalah bentuk penilaian terhadap kelemahan sebuah hadits.”
  6. Abu Dawud. Setelah meriwayatkan hadits Ibnu Busr ia mengatakan, “Hadits ini mansukh” (Selanjutnya ia menyebutkan pendapat para ulama yang menilai hadits ini mengandung ‘illat)
  7. An-Nasa`iy. Ibnu Hajar mengatakan dalam at-Talkhish (II/216) bahwa hadits ini mudhtarib.”
  8. Al-Atsram. Pendapatnya telah dikemukakan sebelumnya.
  9. Ath-Thahawi. Setelah menyebutkan hadits-hadits yang berbeda dengan hadits Ibnu Busr, beliau berkata dalam Syarh Ma’ani al-Atsar (II/80), “Riwayat-riwayat ini semuanya memperbolehkan puasa sunnah pada hari Sabtu dan hadits-hadits tersebut lebih masyhur dan lebih jelas dari hadits yang syadz ini (larangan puasa hari Sabtu).”
  10. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Dalam al-Iqtidha’ (II/275) beliau berkata, “Hadits ini mungkin syadz, tidak shahih dan mungkin juga hukumnya dibatalkan.”
  11. Ibnul Qoyyim. Dalam al-Mukhtashar as-Sunan (III/298) berkata, “Hal ini menunjukkan bahwa hadits ini tidak shahih dan syaadz.” (Selesai di sini ucapan Syaikh Usamah Abdul Aziz)
  12. Berkata Imam Hakim dalam Mustadrak (I/345) : “Hadits ini memiliki kontradiktif dengan hadits lain yang bersanad shahih.” (Poin nomor 12 ini tidak disebutkan oleh Syaikh Usamah, namun disebutkan oleh Syaikh Ali Hasan dalam bab ar-Raddu ‘ala adillati mu`allif wa tarjiihu al-Qowl al-Mukhtar, peny.)

[1] Syaikh Usamah Abdul Aziz melemahkan riwayat ini dalam Shiyaamu at-Tathowwu’ sembari berkata : “Riwayat ini juga lemah karena majhul-nya Fudhail dan hanya Ibnu Hibban yang mentsiqotkannya sesuai dengan kaidah yang dipakainya, yakni menilai tsiqot perawi yang majhul. Sementara Ibnu Hajar dalam at-Taqrib menilainya maqbul (bisa diterima).”[2] Syaikh Usamah Abdul Aziz berkata : “Sanad ini tidak shahih dan kelemahan terdapat pada Abdullah bin Dinar al-Burhaani al-Himshi. Ibnu Ma’in berkata tentangnya : ‘penduduk Syam yang lemah’. Daruquthni berkata : ‘Dia perawi yang tidak diperhitungkan.’ Al-Azdi berkata : ‘Haditsnya tidak sama dengan hadits kebanyakan perawi dan mayoritas ulama melemahkannya kecuali penilaian ganjil dariAbu ‘Ali al-Hafizh yang mengatakan, dia menurut saya perawi yang tsiqot. Namun pendapat yang diambil adalah pendapat jumhur.”[3] Demikian pula pendapat Syaikh Abu Abdullah Mustofa bin al-Adawi –hafizhahullahu- dalam perkara ini, beliau berkata setelah meriwayatkan hadits-hadits yang berlawanan dengan hadits larangan berpuasa pada hari Sabtu –sebagaimana dinukil Syaikh Usamah Abdul Aziz dalam Shiyaamu at-Tathowwu’ (terj.) sebagai berikut :
 
Masing-masing hadits secara sendiri dari semua hadits yang telah kami kemukakan ini lebih shahih tentang berpuasa pada hari Sabtu. Maka tidak seyogyanya dan bagaimanapun tidak layak menolak hadits-hadits ini dengan mendahulukan hadits yang berbunyi : “Janganlah kalian berpuasa pada hari sabtu kecuali puasa yang diwajibkan atas kalian”. Kemudian bagiamanapun juga, pandangan ulama dalam masalah ini tidak dapat begitu saja diabaikan. Akan tetapi semua hadits-hadits yang ada harus dikumpulkan lalu dipilah mana diantara hadits-hadits tersebut yang lebih kuat. Demikian juga perlunya meninjau pandangan pada ulama baik dalam hal penilaian mereka terhadap derajat hadits maupun dalam hal pemahaman mereka terhadap hukum yang terkandung di dalamnya. Adapun dengan hanya melihat satu matan dan satu sanad saja dengan mengabaikan selainnya akan menimbulkan pemahaman yang ganjil. Jadi sangatlah aneh jika ada orang yang tidak berpuasa pada hari ‘Asyura’ sementara kaum muslimin semuanya berpuasa lantaran hari ‘Asyura` itu jatuh pada hari Sabtu dan menurut dugaannya berpuasa pada hari sabtu itu haram. Juga sangat aneh bila ada orang yang  bukan sedang melakukan ibadah haji tidak berpuasa pada hari ‘Arafah sementara semua orang di sekelilingnya berpuasa. Bukankan orang seperti ini telah rugi tidak mendapatkan pahala karena kekurangfahamannya dan sikapnya mengabaikan semua hadits?? Bukankah sepatutnya ia mengumpulkan semua hadits dan melihat pandangan pada Salaf Shalih –rahimahumullahu- serta mengkompromikannya dengan cara yang dapat diterima. Sungguh benar, sesungguhnya itulah yang semestinya dilakukannya sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam : “Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah kebaikan maka Allah akan memberikan kefahaman agama kepadanya.

Insya Alloh Masih Juga Bersambung ... 
Cuplikan lanjutan berikut :

SANGGAHAN ATAS ARGUMENTASI SI ATAS
Syaikh Ali Hasan memberikan jawaban ilmiah terhadap perkataan ulama di atas dalam kitab beliau Zahru ar-Raudlu fi Hukmi Shiyaami Yawmi Sabti fi Ghoiril Fardli bab ar-Radd ‘ala adillati al-Mukhaalif wa Tarjiih al-Qowl al-Mukhtar hal. 47-72. Beliau berkata : “Setelah studi yang cukup dalam dan penelitian yang cukup melelahkan, aku melihat bahwa orang-orang yang menyelisihi dalam masalah ini mengambil dalil dan ucapan yang menyelisihi apa yang telah kami terangkan, telah kusebutkan tentangnya pemahamanku terhadap hadits ini, maka aku jawab dalil-dalil mereka :
  1. Adapun yang diriwayatkan Abu Dawud dari Malik, bahwa ia berkata : “hadits ini kidzbun (dusta)”, maka jawabannya dari beberapa segi:
  1. Bahwasanya Abu Dawud menyampaikan dari Malik secara mu’allaq tanpa menyebutkan sanadnya. Maka ucapab ini tidak dapat dipastikan (kebenarannya) dari Malik.
 Comming soon ....



Free Template Blogger collection template Distributor jahe Merah Karomah Blog Indahku Goresan Jari Jemariku cafe Gaul Para Salafiyyin

0 comments :

Posting Komentar

Setelah mata lelah membaca, tangan lelah menggerakkan mouse, tapi janganlah lelah untuk berkata menyapa, sapalah kami...terima kasih atas kesediaannya memberi inspirasi, silahkan ketik disini :

Jika anda menghendaki tukaran link / banner/follow silahkan anda simpan linknya di Buku Tamu Kami. Diberdayakan oleh Blogger.